Hukum Agraria - Sistem Publikasi dan Pendaftaran Tanah
SistemPublikasi
Dalam beberapa kepustakaan Hukum Tanah (Hukum
Agraria) ditemukan beberapa sistem pendaftaran tanah. Yang dimaksud sistem
pendaftaran di sini adalah sistem publikasinya. Hal ini berhubungan erat dengan
alat bukti dan kemungkinan gugatan dari pihak lain.
Sistem publikasi dalam pendaftaran tanah meliputi
1. Sistem Positif
Sistem ini misalnya dianut oleh Jerman dan
Swiss. Menurut sistem positif sertifikat merupakan tanda bukti hak atas tanah
yang mutlak dan merupakan satu-satunya tanda bukti hak atas tanah.
Sistem positif menjamin dengan sempurna
nama yang terdaftar dalam buku tanah, ia tidak dapat dibantah, kendati bukan
pemilik yang berhak. Sistem ini memberikan kepercayaan yang mutlak pada buku
tanah. Pejabat-pejabat pendaftaran tanah (balik nama) memainkan peranan aktif.
Kebaikan Sistem Positif
a. Kepastian dari buku tanah.
b. Peranan aktif dari Pejabat Pendaftaran Tanah
dan Hak-hak atas tanah.
c. Mekanisme kerja dalam penerbitan sertifikat
tanah mudah dimengerti oleh orang awam.
Kelemahannya:
a. Peranan aktif dari Pejabat Pendaftaran Tanah
dan hak-hak atas tanah (balik nama) memerlukan waktu yang lama.
b. Pemilik tanah yang sebenarnya berhak akan
kehilangan haknya karena kepastian dari buku tanah.
c. Wewenang Pengadilan diletakkan dalam wewenang
administratif.[2]
2. Sistem
Negatif
Segala apa yang tercantum dalam sertifikat tanah dianggap benar sampai
dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) di muka Hakim
persidangan. Asas Memo Plus Yuris
yaitu melindungi pemegang hak atas tanah yang sebenarnya dari tindakan orang
lain yang mengalihkan hak tanpa diketahui oleh pemegang hak yang sebenarnya
Ciri pokok dari sistem publikasi Negatif adalah pendaftaran tanah dan
pendaftaran hak atas tanah tidaklah menjamin bahwa nama-nama yang terdaftar
dalam buku tanah tidak dapat dibantah jika nama yang terdaftar bukan pemilik
sebenarnya
Hak dari nama yang terdaftar ditentukan oleh hak dari pemberi hak
sebelumnya, peralihan hak tersebut merupakan mata rantai perbuatan hukum dalam
pendaftaran hak atas tanah.
Ciri pokok lainnya adalah bahwa Pejabat Pendaftaran Tanah dan Pejabat Balik
Nama berperan pasif artinya tidak berkewajiban untuk menyelidiki kebenaran dari
Surat Tanah yang diserahkan padanya. Kebaikannya: adanya perlindungan bagi
pemegang hak yang sebenarnya
Kelemahannya:
a. Peran pasif
Pejabat Pendaftaran Tanah dan Pejabat Balik Nama sehingga menyebabkan tumpang
tindihnya sertifikat.
b. Mekanisme kerja
(proses) penerbitan seringkali kurang dimengerti orang awam.
3. Sistem
Torrens[3]
Di samping dibicarakan dalam sistem publikasi, sistem Torrens juga
dibicarakan dalam sistem (cara) pendaftaran tanah.[4]
Sistem ini sebagaimana namanya pertama kali diperkenalkan oleh Sir Robert
Torrens, seorang Pejabat di Australia Selatan. Sistem ini mulai berlaku 1 Juli
1858 dengan nama "The Real Property
Act" atau "Torrens
Act". Sistem ini dipakai di Kepulauan Fiji, Canada, Negara Bagian Iowa
Amerika Serikat, Jamaika, Trinidad, Brazil, Aljazair, Tunisia, Congo, Spanyol,
Denmark, Norwegia, dan Malaysia, tentunya setelah dilakukan penyesuaian dengan
sistem hukumnya.
Menurut penciptanya, sistem ini mempunyai kelebihan dibandingkan dengan
Sistem Negatif, yakni:
a) Lebih menjamin
kepastian hukum.
b) Lebih menghemat
waktu dan biaya.
c) Lebih singkat
dan jelas.
d) Lebih sederhana
sehingga setiap orang dapat mengurus sendiri.
e) Menghalangi
usaha penipuan.
f) Hak-hak milik
atas tanah dapat meningkat harganya karena ada kepastian hukum.
g) Sejumlah
prosedur sudah dikurangi.
Menurut sistem Torrens sertifikat merupakan alat bukti hak atas tanah yang
paling lengkap dan tidak dapat diganggu gugat. Ganti rugi terhadap pemilik
sejati melalui dana asuransi. Perubahan buku tanah tidak mungkin dilakukan,
kecuali jika cara perolehannya dengan pemalsuan dokumen atau dengan penipuan.
Sistem publikasi pendaftaran tanah yang dianut oleh UUPA, sebagaimana
diatur dalam Pasal 19 ayat 2 huruf c adalah Sistem Negatif terlihat dari
kata-kata "... berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat”. Demikian pula dalam Penjelasan Umum PP Nomor 10
Tahun 1961, yang menyebutkan bahwa:
"Pembukuan
sesuatu hak dalam daftar buku tanah atas nama seseorang tidak mengakibatkan,
bahwa orang yang sebenarnya berhak atas tanah itu akan kehilangan haknya, orang
tersebut masih dapat menggugat hak dari orang yang terdaftar dalam buku tanah
sebagai orang yang berhak. Jadi cara pendaftaran hak yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah ini tidaklah positif, tetapi negatif'.[5]
Demikian pula halnya dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 secara prinsipil tidak
ada perubahan dalam hal sistem publikasi pendaftaran tanah dengan tetap
mempertahankan sistem negatif dengan penambahan unsur-unsur positif
Pengertian Pendaftaran Tanah
Pengertian Pendaftaran
Tanah UUPA merupakan peraturan dasar yang mengatur penguasaan, pemilikan,
peruntukan, penggunaan, dan pengendalian pemanfaatan tanah yang
bertujuan terselenggaranya pengelolaan dan pemanfaatan tanah untuk sebesar besar kemakmuran rakyat.Salah
satu aspek yang dibutuhkan untuk tujuan tersebut adalah mengenai kepastian hak atas tanah
yang menjadi dasar utama dalam rangka kepastian hukum kepemilikan tanah.
Untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah,
dalam Pasal 19 UUPA telahdiaturketentuandasarpendaftarantanahsebagaiberikut :
1) Untuk menjamin kepastian hukum,
oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia,
menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah.
2) Pendaftaran tanah tersebut pada ayat
(1) meliputi :
a. pengukuran,
perpetaan, dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
Dengan adanya pendaftaran tanah seseorang dapat secara mudah memperoleh keterangan - keterangan berkenaan dengan sebidang tanah seperti hak
yang dimiliki, luas tanah, letak tanah,
apakah telah dibebani dengan hak tanggungan atau tidak. Dengan demikian penyelenggaraan pendaftaran tanah atau pendaftaran hak atas tanah
yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan UUPA dan PP Nomor 24 Tahun 1997
telah menggunakan asas publisitas dan asas spesialitas.
Asas publisitas tercermin dengan adanya pendaftaran tanah yang
menyebutkan subyek haknya, jenis haknya, peralihan dan pembebanannya. Sedangkan asas spesialitas tercermin dengan adanya
data-data fisik tentang hak atas tanah tersebut seperti luas tanah, letak tanah,
dan batas-batas tanah. Asas publisitas dan asas spesialitas ini dimuat dalam suatu daftar guna dapat diketahui secara mudah oleh siapa saja
yang ingin mengetahuinya, sehingga siapa saja yang ingin mengetahui data-data
atas tanah itu tidak perlu lagi mengadakan penyelidikan langsung kelokasi tanah yang
bersangkutan karena segala data-data tersebut dengan mudah dapat diperoleh di Kantor Pertanahan. Oleh karenanya setiap peralihan hak atas tanah tersebut dapat berjalan lancar dan tertib serta tidak memakan waktu
yang lama.
SistemPendaftaran
Tanah
Di samping sistem publikasi pendaftaran
tanah, dalam kepustakaan dikenal pula sistem pendaftaran tanah, dalam arti cara
pendaftarannya, yang dibedakan dalam pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap
haknya (registration of titles) dan
pendaftaran terhadap akta (registration
of deeds).
Dalam sistem pendaftaran akta, akta-akta itulah yang didaftar oleh Pejabat
Pendaftaran Tanah. Dalam sistem akta Pejabat Pendaftaran Tanah bersifat pasif,
ia tidak menguji kebenaran akta. Tiap kali terjadi perubahan wajib dibuatkan
akta, sebagai bukti haknya. Dalam sistem ini data yuridis harus dicari dalam
akta-akta yang bersangkutan, pencarian akta (title search) yang memakan waktu dan keahlian khusus.
Untuk ini Robert Richard Torrens menciptakan
cara baru yang lebih sederhana dan memungkinkan orang memperoleh keterangan
dengan cara yang mudah. Sistem ini menggunakan pendaftaran terhadap hak (registration of titles).
AsasPendafataran
Tanah
Asas-asas pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 adalah:
1. Asas Sederhana
: dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokok maupun prosedurnya dengan
mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama oleh para
pemegang hak atas tanah.
2. Asas Aman
: dimaksudkan untuk menunjukkan, bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan
secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian
hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.
2. Asas Terjangkau: keterjangkauan
bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan
kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka
penyeleng-garaan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh para pihak yang
memerlukan.
3. Asas Mutakhir:
dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan kesinambungan
dalam pemeliharaan datanya. Dua hal ini harus menunjukkan keadaan yang
mutakhir. Untuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftar dan mencatat
perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian hari. Asas mutakhir menuntut data
yang tersedia di Kantor Pertanahan harus selalu sesuai dengan keadaan nyata di
lapangan.
4. Asas Terbuka: mengandung
arti bahwa data yang ada pada Kantor Pertanahan harus dapat diperoleh secara
terbuka oleh masyarakat.
Obyek Pendaftaran
Tanah
Obyek pendaftaran tanah menurut Pasal 9 PP
Nomor 24 Tahun 1997 meliputi :
a.
bidang-bidang tanah
yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai;
b.
tanah hak pengelolaan;
c.
tanah wakaf;
d.
hak milik atas satuan rumah susun;
e.
hak tanggungan;
f.
tanah negara.
Berbeda dengan obyek-obyek pendaftaran tanah
yang lain, tanah negara pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah
yang bersangkutan dalam daftar tanah.
Untuk tanah negara tidak disediakan buku tanah dan karenanya juga tidak diterbitkan sertifikat. Sedangkan obyek pendaftaran tanah
yang lain didaftar dengan membukukannya dalam peta pendaftaran dan buku tanah serta menerbitkan sertipikat sebagai surat tanda bukti haknya.
Tujuan dan Fungsi Pendaftaran
Tanah
Dalam PP Nomor 10 Tahun 1961,
tujuan pendaftaran tanah tidak dinyatakan dengan tegas. Pendaftaran tanah yang
dinyatakan dalam Pasal 3 PP Nomor 24 Tahun 1997 bertujuan untuk :
a. untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah,
satuan rumah susun, dan hak-hak lain yang terdaftar, agar
dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;
b. untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak
yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun
yang sudah terdaftar;
c. untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Adapun fungsi pendaftaran tanah adalah untuk memperoleh alat pembuktian
yang
kuat tentang sahnya perbuatan hukum mengenai tanah. Akan tetapi untuk perbuatan hukum tertentu,
pendaftaran tanah mempunyai fungsi lain,
yaitu untuk memenuhi sahnya perbuatan hukum itu. Artinya tanpa dilakukan pendaftaran,
perbuatan hukum itu tidak terjadi dengan sah menurut hukum. Inimisalnya berlaku bagi pendaftaran hipotik / hak tanggungan. Sebelum didaftar
di Kantor Pertanahan,
hipotik / hak tanggungan itu belum mengikat secara hukum. Pendaftaran jual beli atau hibah atau tukar menukar bukan berfungsi untuk sahnya perbuatan itu,
tetapi sekedar memperoleh alat bukti mengenai sahnya perbuatan itu. Alat bukti itu adalah sertifikat
yang
didalamnya disebut adanya perbuatan hukum itu dan bahwa pemiliknya sekarang adalah pembeli atau
yang menerima hibah atau yang memperoleh penukaran.[7]
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa pendaftaran tanah atau pendaftaran hak atas tanah akan membawa akibat diberikannya surat tanda bukti hak atas tanah
yang lazim disebut sertipikat tanah kepada pihak yang bersangkutan yang
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat terhadap hak atas tanah yang dipegangnya itu.
Disinilah letak hubungan antara maksud dan tujuan pendaftaran tanah dengan maksud dan tujuan pembuat
UUPA yaitu menuju cita cita adanya kepastian hukum berkenaan dengan hak-hak atas tanah
yang umumnya dipegang oleh sebagianbesar rakyat Indonesia.
[1] Bachtiar
Effendi, Pendaftaran Tanah di Indonesia
dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaanya, Bandung, Alumni, 1983, hlm, 30 – 31.
[2]Ibid
[3]Ibid
[4]Lihatdibagianbawahnanti
[5]Penjelasan
Umum Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, pada huruf C. angka 7 sub b.
[6] Indonesia (a),
PeraturanDasarPokok-pokokAgraria, UU No. 5, LN No. 104 Tahun 1960, TLN No.
2043, ps. 19
[7]Effendi Perangin-angin (a),
HukumAgraria di Indonesia SuatuTelaahdariSudut Pandang PraktisiHukum, Cet. 4,
(Jakarta: RajaGrafindoPersada, Juni 1994), hlm. 96
Komentar
Posting Komentar