PTIH - KAIDAH HUKUM DAN KAIDAH SOSIAL
1. Pendahuluan.
Aristoteles mengatakan, ”Manusia adalah
mahluk sosial atau zoon politicon.” Sebagai mahluk sosial selalu ingin hidup
berkelompok atau hidup bermasyarakat. Keinginan itu didorong oleh kebutuhan
biologis:
a.
Hasrat
untuk memenuhi makan dan minum atau utuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
b.
Hasrat
untuk membela diri.
c.
Hasrat
untuk mengadakan keturunan.
Sebagai pribadi manusia yang pada dasarnya dapat berbuat menurut
kehendaknya secara bebas. Akan tetapi dalam kehidupan bermasyarakat, kebebasan
tersebut dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang mengatur tingkah laku dan sikap
tidak mereka. Apabila tidak ada ketentuan-ketentuan tersebut akan terjadi ketidakadanya
keseimbangan dalam masyarakat dan pertentangan-pertentangan satu sama lain.
Apabila keadaan yang demikian itu tidak diatur atau tidak dibatasi, maka
yang lemah akan tertindas atau setidak-tidaknya timbul
pertentangan-pertentangan. Aturan yang dimaksud disbeut kaidah sosial. Dengan
demikian kaidah atau norma adalah ketentuan tata tertib yang berlaku dalam
masyarakat. Kata kaidah itu sendiri berasal dari bahasa Arab dan norma berasal
dari bahasa Latin yang berarti ukuran.
Gustav Radbruch (1961:12) membedakan kaidah dalam dua macam:
a.
Kaidah
alam, yaitu kaidah yang menyatakan tentang apa yang akan pasti terjadi. Contoh,
semua manusia akan meninggal.
b.
Kaidah
kesusilaan, merupakan kaidah yang menyatakan tentang sesuatu yang belum terjadi.
Contoh, manusia dilarang pencuri.
2. Kaidah Sosial.
Kaidah sosial adalah ketentuan yang
memberi batasan dalam hubungan antarmanusia (warga masyarakat) untuk memenuhi
kebutuhan atau kepentingannya, tanpa melanggar kepentingan yang lainnya. Adapun pembagian kaidah sosial:
1.
Kaidah
Hukum. Yaitu hasil dari perundang-undangan atau tertulis yang dibuat melalui
proses yang sah serta tidak tertulis, yang harus ditaati oleh warga masyarakat.
Ia tidak mempersoalkan batin manusia, apakah buruk atau baik. Dan yang menjadi
objek perhatiannya adalah bagaiamana sikap dan perbuatan lahiriah manusia.
Adapun contoh kaidah hukum:
a.
Barangsiapa
mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain,
dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian
dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp60 (Pasal
362 KUHP).
b.
Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan secara hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya (Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 tetang Perkawinan).
2.
Kaidah
agama atau kaidah kepercayaan. Adalah aturan-aturan yang berisi
kewajiban-kewajiban, larangan-larangan, perintah-perintah, dan anjuran-anjuran
yang oleh pemeluk atau penganutnya diyakini sebagai kaidah yang berasal dari
Tuhan. Pelanggaran terhadap kaidah kepercayaan, sanksi atau akibatnya akan
didapat berupa siksaan kelak di akhirat. Contoh, Jangan menyekutukan Allah,
laksanakan shalat, dll.
3.
Kaidah
kesusilaan. Yaitu kaidah yang dianggap paling asli yang berasal dari sanubari
manusia itu sendiri. Kaidah kesusilaan merupakan kaidah tertua. Bertujuan agar
manusia memiliki ahlak yang baik demi mencapai kesempurnaan hidup. Penerapan
sanksi berasal dari dalam diri manusia itu sendiri, bukan paksaan dari luar. Contoh, berbuat jujur, hormatilah sesamamu,
jangan membunuh, dll.
4.
Kaidah
kesopanan. Yaitu kaidah yang berasal dari dalam masyarakat untuk mengatur
pergaulan warganya agar masing-masing saling menghormai. Contoh, orang yang
berusia mudah wajib menghormati orang yang berusia lebih tua, mengenakan
pakaian yang pantas di hadapan umum, dll.
PERBEDAAN
|
KAIDAH
AGAMA/KEPERCAYAAN
|
KAIDAH
KESUSILAAN
|
KAIDAH KESOPANAN
|
KAIDAH HUKUM
|
Asal-usulnya
|
Dari
Tuhan
|
Dari diri
sendiri
|
Kekuasaan
dari luar diri manusia yang bersifat memaksa
|
Kesadaran
dari luar diri manusia yang bersifat memaksa
|
Sasarannya
|
Ditujukan
pada sikap batin manusia
|
Ditujukan
kepada sikap batin manusia
|
Ditujukan
pada sikat lahir manusia
|
Ditujukan
pada sikap lahir manusia
|
Isinya
|
-
Memberi kewajiban
-
Tidak memberi hak
|
-
Memberi kewajiban
-
Tidak memberi hak
|
-
Memberi kewajiban
-
Tidak memberi hak
|
-
Memberi kewajiban
-
Memberi hak
|
Tujuannya
|
-
Seluruh umat manusia
-
Menyempurnakan manusia
-
Mencegah manusia jadi jahat
|
-
Seluruh umat manusia
-
Menyempurnakan manusia
-
Mencegah manusia jadi jahat
|
-
Pembuat yang konkret
-
Ketertiban warga masyarakat
-
Mencegah adanya korban
|
-
Pembuat yang konkret
-
Ketertiban warga masyarakat
-
Mencegah adanya korban
|
Sanksinya
|
Dari
Tuhan
|
Dari
diri sendiri
|
Dari
masyarakat (secara tidak resmi)
|
Dari
masyarakat (secara resmi)
|
3. Perbedaan kaidah hukum dengan kaidah sosial.
4. Penggolongan kaidah
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo
menggolongkan keempat kaidah/norma
tersebut dalam dua golongan ialah (Daliyo 1989:18):
a.
Tata
kaidah dengan aspek pribadi yang termasuk kelompok ini adalah kaidah agama atau
kepercayaan dan kaidah kesusilaan.
b.
Tata
kaidah dengan aspek kehidupan antar pribadi yang masuk di dalamnya adalah
kaidah kesopanan dan kaidah hukum.
5. Asal-usul kaidah hukum
Asal-usul kaidah hukum pada pokoknya dapat
dibedakan atas dua macam, yaitu:
1.
Kaidah
hukum yang berasal dari kaidah-kaidah sosial lain dalam masyarakat. Yang dalam
kaidah Paul Bohannan sebagai kaidah hukum yang berasal dari double legitimacy
dari suatu kaidah sosial nonhukum (moral, agama, dan kesopanan) menjadi suatu
kaidah hukum.
2.
Kaidah
hukum yang diturunkan oleh otoritas tertinggi sesuai dengan kebutuhan
masyarakat pada saat itu dan berlangsung terwujud dalam wujud kaidah hukum,
serta sama sekali tidak berasal dari kaidah sosial lain sebelumnya.
6. Isi Kaedah Hukum
a.
Gebod (Suruhan) Kaedah yang berisi
suruhan untuk berbuat sesuatu (ciri-ciri: ada kewajiban) Contoh: Pasal 45 ayat
(1) UU No. 1 Tahun 1974, mewajibkan orangtua untuk memelihara dan mendidik
anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya.
b.
Verbod (Larangan) Kaedah yang
berisi larangan untuk melakukan sesuatu (ciri-ciri: ada larangan) Contoh: Pasal
8 UU No. 1 Tahun 1974, tentang larangan perkawinan.
c.
Mogen (Kebolehan) Kaedah yang
berisi kebolehan, dilakukan boleh, tidak juga tidak ada sanksi (ciri-ciri:
tidak ada larangan & kewajiban) Contoh: Pasal 29 ayat (1) UU No. 1 Tahun
1974, bahwa pihak yang melakukan perkawinan boleh mengadakan perjanjian tertulis,
asal tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.
7. Sifat Kaedah Hukum
a.
Imperatif, Memaksa secara apriori
yang bersifat imperatif adalah Gebod dan Verbod.
b.
Fakultatif, Tidak harus dilakukan,
yang bersifat fakultatif adalah Mogen.
8. Perumusan Kaedah Hukum
Dalam perumusan harus
dibedakan antara Rules of Law dan Legal Norm.
a.
Rules of Law. Deskripsi ilmu-ilmu
hukum yang disusun secara hipotesis (bersyarat dan mengandung prinsip imputasi)
maupun secara kategoris (tidak mengatur hubungan antara kondisi dan
konsekuensi).
-
Kaedah hukum hasil ciptaan
hipotesis dan pandangan orang pada umumnya.
b.
Legal Norm. Putusan pejabat hukum
yang harus ditaati oleh subjek hukum .
-
Kaedah hukum hasil ciptaan pejabat hukum,
memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Essensialia
Kaedah Hukum
Kaedah Hukum
dikatakan memaksa karena dapat menyebabkan terjadinya paksaan oleh diri sendiri,
yakni kebutuhan manusia untuk hidup bersama (gregariousness). Esensialia kaidah hukum
adalah membatasi atau mematoki bukan memaksa, sebab hukum itu sendiri dapat
dilanggar dan tidak dapat melakukan paksaan. Yang mengadakan paksaan itu adalah
diri sendiri (karena adanya kesadaran hukum) dan orang lain (petugas hukum). Tidak ada kaidah
hukum yang memaksa. Melainkan kaidah hukum tersebut dapat menimbulkan adanya
paksaan, dengan kata lain sifat memaksa bukan esensil dari kaidah hukum.
Komentar
Posting Komentar